Kasus Nyata Pecandu Narkoba
Agak berat untuk mengingat masa lalu yang saya alami.
Sedikit takut memang. Entah kenapa, ketika ingin bercerita saya harus berpikir
keras. Sebagai seorang wanita, banyak yang telah saya alami dalam hidup ini,
hidup yang tergolong kacau dan bandel. Khususnya tentang masalah narkoba.
Dikerjain teman hingga mabuk sampai “ditiduri”, kabur dari rumah, berpacaran
dengan bandar narkoba, sakaw di tempat kerja, dan berbagai hal nista lainnya.
Karena narkoba itulah, hidup seperti angin berputar yang tidak tentu arah.
Itulah kisah ringkas Feby ( bukan nama sebenarnya,
Red.). Iapun tidak begitu setuju bila semua yang terjadi padanya dikatakan
sebagai buntut dari perpisahan orang tua sejak ia menginjak sekolah dasar.
Bersama dengan lima orang kakak laki-lakinya, Feby memilih tinggal bersama sang
ibu. Perceraian itu, diakui Feby, berakibat pada hilangnya perhatian untuknya
dan saudaranya yang lain. Hingga, dua orang saudara laki-lakinya juga terjebak
dalam lembah hitam narkoba.
Kehidupan bandel Feby, dimulai ketika ia menginjak
bangku SMP. Akibat dari pergaulan yang terlalu bebas, ia memulai kebiasaan merokok.
Sejalan dengan itu, Feby akhirnya mulai mengenal dan mencoba ganja. “Minuman
juga pernah coba, tapi gak terlalu sering,” tuturnya.
Perkenalan dengan ganja terjadi tanpa disengaja. Saat
itu, kakak laki-lakinya sering membawa teman untuk menginap. Di rumahnya yang
terbilang besar dan sepi, sang kakaknya sering menggelar pesta mabuk bersama
teman-temannya. Akibat sering melihat kejadian itu, Feby menjadi sangat
mengenal seluk beluk orang mabuk. Buruknya, iapun jadi semakin ingin mencoba.
Pada suatu waktu ia bermain di kamar kakaknya. Di
bawah kasur, ia menemukan daun ganja baik yang sudah dilinting ataupun yang
masih dibungkus koran atau plastik. Jumlahnya lumayan banyak. Feby pun jadi berkesimpulan bahwa kakaknya dan
teman-teman yang sering dibawanya tidak saja seorang “pemakai”, tapi juga
seorang bandar.
Sekedar iseng, karena terbiasa merokok, Feby jadi sering mengambil ganja yang telah
dilinting untuk dihisap. “Awalnya saya mau tahu, bagaimana sih rasanya. Katanya
kalau ngisep ganja, matanya merah. Karena itu, sehabis menghisap, saya sering
bercermin. Dan ternyata biasa aja. Cuma memang agak sedikit pusing,” ungkapnya
mengenang.
Dijebak dan Diperkosa
Menginjak SMA, kehidupan bandel yang dilakoni Feby makin menjadi. Pergaulannya makin bebas. Di
akhir pekan, ia sering tidak pulang untuk berkumpul dengan teman-temannya.
“Saya mulai bandel untuk gak pulang. Cobain nongkrong-nongkrong, hingga masuk
ke diskotik,” tutur anak bungsu ini. Usia Feby masih 15 tahun saat menginjak kelas satu SMA,
namun ia telah mengenal alkohol dan obat-obatan. Tidak sulit bagi Feby untuk
mendapatkan 2 jenis barang haram itu untuk dikonsumsi bersama teman-temannya.
Suatu waktu, Feby bertemu dengan teman yang dahulu sering
nongkrong bersama. Sebut saja nama temannya itu T. Feby menyebut T itu sebagai “abang-abangan”, yaitu
sebutan anak nongkrong untuk memanggil teman yang lebih tua. Oleh T, ia
dikenalkan dengan seseorang yang dikatakan sebagai pemilik sebuah diskotik di
daerah Jakarta Pusat. Bersama T, Feby sering berkunjung ke diskotik yang dimiliki
oleh teman T tersebut. “Ketika main ke diskotik itu, sayapun sering ditraktir
makan dan minum. Terkadang dikasih ongkos buat pulang,” jelasnya.
Suatu hari, ketika sedang berkunjung ke diskotik teman
T tersebut, Feby mabuk berat. Ketika
ingin pulang, ia pun dicegah oleh T. Saat itu Feby ditawari agar tidak usah
pulang dan dijanjikan untuk disewakan sebuah kamar hotel. “Biasanya, sehabis ke
diskotik itu saya langsung pulang ke rumah. Namun, kalau tidak pulang saya juga
langsung ke tempat teman dan nongkrong lagi di sana sampai pagi,” ucap Feby.
Ketika ditawarkan kamar hotel tersebut, iapun sempat
berpikir macam-macam. Namun, karena ia percaya kepada T, pikiran itu tidak
digubrisnya. Feby juga sempat dijanjikan
oleh T bahwa apa yang ditawarkan adalah karena kepedulian terhadapnya. “Udah,
lu masuk aja ke kamar. Masuk dan lu kunci dari dalam. Beres. Tinggal tidur dah
lu” ungkap Feby menirukan ucapan T. Ketika terbangun dari tidur, dan masih di
bawah pengaruh mabuk, Feby melihat seorang laki-laki yang tertidur sambil
memeluknya. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah ditipu oleh T. Mona
pun yakin ada “bisnis tersembunyi” untuk dirinya yang dilakukan oleh T.
“Ternyata dia berniat jelek. Mungkin dia berpikir, ah
si Feby itu kan sering nongkrong dan
pergi bebas bersama laki-laki. Jadi gampang aja. Padahal dia salah besar!
Walaupun sering main dan nongkrong, saya bukan seperti yang dia kira,” geram
Feby mengingat apa yang dirasakannya saat itu.
Setelah kejadian itulah, kehidupan Feby berubah. Ia
merasa malu dan bersalah. Peristiwa di malam jahanam itu tidak pernah
diceritakannya pada siapapun, namun perasaan malu terus menyelimuti. Ia jadi
malas untuk melakukan apapun dan makin sering tidak pulang ke rumah. Saat itu
terlintas di pikirannya untuk membunuh orang yang telah memperkosa dirinya.
Dalam kekalutan, Feby mengajak sang teman untuk kabur dari rumah. Pulang dari sekolah,
mereka berdua akhirnya pergi ke Jambi. “Saya pikir saya bisa menentukan jalan
sendiri,” tuturnya polos.
Dendam menghilang berkat nasehat teman-temannya. Feby
diberi pengertian, walaupun ia membunuh pria amoral tersebut, keperawanan
dirinya tidak akan kembali lagi. Bahkan ia nantinya akan berurusan dengan pihak
berwajib. “Saat itu saya hanya berpikir, bila membunuh orang itu nanti keluarga
akan tahu apa alasan-alasan yang menyebabkan saya jarang pulang dan kabur dari
rumah,” geramnya.
Kecanduan Putau
Setelah satu setengah tahun menetap di Jambi, Feby
akhirnya kembali ke Jakarta pada awal
2007. Saat pulang ke Jakarta, ia tidak langsung ke rumah. Kebetulan ia bertemu
dengan teman akrabnya kala SD yang bekerja di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat.
Bersama temannya pula Feby menetap dan
dibiayai untuk menyewa sebuah kamar kos di daerah Kota, Jakarta Utara.
Tidak diduga, penghuni kos sebelah kamarnya adalah
seorang bandar putau. Febypun akrab dengannya. Alih-alih menumpang untuk
meracik narkoba dagangan, sang bandar sering datang ke kamar Feby. “Kebetulan
kamar yang saya tempati ada AC, dengan alasan itu pula bandar tersebut lebih
betah di sana,” tutur Feby. Sambil meracik, sang bandar sering menawarkan
contoh barang dagangan ke Feby. Tanpa segan, Feby pun mencoba memakai putau tersebut dengan cara
di-drugs, yaitu dibakar dan dihisap uapnya. “Setiap hari dia ke kamar. saya dan
teman sering dikasih tester putau dengan gratis. Tapi setelah melihat kita
sudah sering sakau, iapun jadi tidak numpang meracik lagi. Mau tidak mau kita
yang berganti pergi ke kamarnya. Malah terkadang tidak memberi bila kita
meminta, terpaksa kami membeli,” ingatnya kesal.
Mulai dari situ diri Feby kecanduan putau. Setiap hari
ia ketagihan. Kehabisan uang dan tidak tahu mesti berbuat apa lagi, dalam
keadaan sakau, Feby memberanikan diri pulang ke rumah.
Coba Jarum Suntik
Pulang ke rumah, yang ada di pikiran Feby adalah cara
mendapatkan uang untuk membeli putau. Disekolahkan kembali oleh sang ibu, Feby pun memanfaatkan keadaan dengan alasan klise
untuk mendapatkan uang, seperti membeli buku, bayar uang sekolah, dan
lain-lain. Tamat SMA, Mona mengikuti kursus di sebuah lembaga pendidikan
bahasa. Di situlah ia bertemu kembali dengan mantan pacarnya. “Ia sudah
beristri, namun katanya ia sayang sama saya. Ia sering memberi uang yang
akhirnya saya pergunakan untuk membeli putau,” papar Feby.
Lulus dari tempat kursus, Feby kembali pergi dari rumah dan ngekos. Di situ
ia diajak oleh seorang teman untuk bekerja di sebuah diskotik. Disitu pun ia
ditinggalkan sang pacar. Feby ditinggalkan ketika diketahui dirinya adalah
pecandu, Feby kesulitan mendapatkan putau. Saat itu dia
mendatangi seorang bandar yang hanya mempunyai putau dalam bentuk cair dan
harus dipakai dengan disuntik. Dengan sangat terpaksa, Feby pun mencoba memakai putau dengan cara
disuntik. Kenikmatan yang berbeda pun dirasakan Feby. Sejak itulah ia selalu
memakai putau dengan cara disuntik.
Sakaw di Tempat Kerja, Pacaran sama Bandare
Tahun 2010, Feby mulai kehabisan uang. Jangankan untuk membeli
putau, untuk biaya hidup sehari-hari sangatlah susah. Dalam keadaan sakau, ia
kembali pulang ke rumah. Saat itu Feby dalam pengaruh Leksotan – yaitu sejenis obat
yang menurut para pengguna putau dapat menghilangkan rasa sakaw – Feby mulai cerita pada ibunya semua kejadian yang
menimpa selama ini. Setelah itu, Feby dimasukkan dalam program terapi Rumah
Sakit Fatmawati. Dalam pengobatan itu ia berobat jalan. Selama hampir dua bulan
Feby menjalani pengobatan di rumah.
Setelah pulih, Feby mendapatkan
pekerjaan di sebuah perusahaan air minum. Sibuk bekerja, iapun lupa dengan
narkoba. Diakuinya, di situ ia benar-benar jauh dari segala jenis narkoba,
terkecuali merokok. Namun, kehidupan normal itu hanya berlangsung tiga bulan.
Satu saat Mona bertemu dengan seorang rekan kerja pecandu putau. Sebut saja
namanya W.
Awalnya Feby tidak tahu bahwa ia pecandu. Namun,
karena sering berbincang dengan W, lambat laun Feby tahu. Ternyata, W dan
istrinya adalah pasangan pemakai putau. Faktor sugesti dan juga pengaruh W,
akhirnya Feby kembali mencoba putau yang
telah ia tinggalkan. Setiap jam makan siang, pastilah W datang dan membawa
putau. Karena kebiasaan barunya itu, Feby tergoda untuk menghubungi teman-teman
lamanya yang merupakan bandar narkoba. Bila ia dapat membeli sendiri tanpa W,
pastilah putau yang ia dapatkan akan lebih cukup untuk dipakai sendiri, pikir
Feby saat itu. Setiap jam makan siang, dengan menggunakan ojek, Feby mendatangi bandar-bandar kenalan lamanya. Feby
jadi sering sakaw di kantor, bahkan di
saat jam kerja.
Uang gaji pun akhirnya terpakai untuk belanja putau.
Sampai ia bertemu dengan seorang bandar yang tertarik kepadanya. Kesempatan
itupun digunakan oleh Feby. Ia menjalin hubungan dengan sang bandar. “Lumayan
saya pacarin dia. Kadang-kadang saya bisa dapat barang gratis. Waktu itu saya
kalau beli kan pakai ojek, dia juga yang kadang bayarin tuh ojek,” ujar Feby.
Dukungan Orang Tua yang Berarti
Karena tindak-tanduk sang putri bungsu mulai aneh
lagi, orang rumah mulai curiga. Hampir delapan bulan Feby memakai putau sambil bekerja. Rekan-rekan kerjanya
tahu dan mengadukan Feby ke atasan. Feby
akhirnya dikeluarkan. Dengan sedikit tipu daya, orang tuanya kembali memasukkan
ke sebuah panti rehabilitasi di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. “Waktu itu aku
sedang sakaw di rumah, saya minta uang pada orang tua. Kemudian ibu menawarkan
untuk ikut dengannya dahulu baru dikasih uang. Ternyata saya dibawa ke panti
rehabilitasi,” cerita Feby.
Sebelas bulan lamanya Feby menjalani proses terapi.
Hingga akhirnya, di awal 2012, ia kabur dari panti rehabilitasi tersebut, dan
kembali ke rumah. Feby kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kaset. Ia
menyewa sebuah kamar kos lagi sambil bekerja. Suatu waktu ia bertemu mantan
kekasihnya yang seorang pemakai. Pengaruh narkoba pun kembali hinggap dalam
kehidupan Feby. Setelah itu ia menjalani kehidupan kembali sebagai pemakai
narkoba. Hingga akhirnya, ia terkena jangkauan sebuah lembaga yang menangani
pecandu narkoba di wilayah Cideng, Jakarta Barat. Lembaga itu bergerak dalam
pengurangan dampak buruk dari narkoba, khususnya pecandu yang menggunakan jarum
suntik.
Tidak lama setelah itu, Feby pun ditawarkan untuk menjalani terapi
substitusi dengan menggunakan Metadon yang ia jalani hingga kini. Menurut Feby,
dosis yang dipakai dalam terapinya kini adalah 5 mg. Iapun berharap, dosisnya
berkurang lagi di kemudian hari hingga akhirnya ia tidak perlu menggunakan
apa-apa lagi. Dikatakan Feby, seorang pecandu narkoba bila ingin berhenti harus
dari keinginan hatinya sendiri. Feby yakin, setiap pecandu bisa berhenti! Iapun
mengakui, dukungan orang tuanya sangat besar dirasakan olehnya. Orang tuanya
pun akhinya bersatu kembali dan tinggal bersama hanya untuk membenahi apa yang
terjadi pada Feby dan juga kakak-kakaknya. “Mereka pernah bilang, mereka rujuk
kembali hanya untuk anak-anaknya. Dan hal itu dirasakan sangat berarti bagi saya
dan juga semuanya,” tutur Feby mengakhiri pembicaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar